Sistem presidensiil (presidensial), atau disebut juga dengan sistem kongresional, merupakan sistem pemerintahan negara republik di mana kekuasan eksekutif dipilih melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasan legislatif. Menurut Rod Hague, pemerintahan presidensiil terdiri dari 3 unsur yaitu: Presiden yang dipilih rakyat memimpin pemerintahan dan mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan yang terkait, Presiden dengan Dewan Perwakilan memiliki masa jabatan yang tetap, tidak bisa saling menjatuhkan, dan tidak ada status yang tumpang tindih antara badan eksekutif dan badan legislatif. Dalam sistem presidensiil, presiden memiliki posisi yang relatif kuat dan tidak dapat dijatuhkan karena rendah subjektif seperti rendahnya dukungan politik. Namun masih ada mekanisme untuk mengontrol presiden. Jika presiden melakukan pelanggaran konstitusi, pengkhianatan terhadap negara, dan terlibat masalah kriminal, posisi presiden bisa dijatuhkan. Bila ia diberhentikan karena pelanggaran-pelanggaran tertentu, biasanya seorang wakil presiden akan menggantikan posisinya. Tetapi perkembangan sekarang di era reformasi yang menuntut reformasi yang segera di dunia birokrasi, daerah kekuasaan Presiden, berarti Majelis Permusyawaratan dan Dewan Rakyat ikut campur juga di situ. Ini berarti ada corak parlementer yang bercampur. Mengacu kepada definisi, sistem parlementer adalah sebuah sistem pemerintahan di mana parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Dalam hal ini parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat perdana menteri dan parlemen pun dapat menjatuhkan pemerintahan, yaitu dengan cara mengeluarkan semacam mosi tidak percaya. Sistem parlemen dapat memiliki seorang presiden dan seorang perdana menteri yang berwenang terhadap jalannya pemerintahan. Dalam presidensiil, presiden berwenang terhadap jalannya pemerintahan, namun dalam sistem parlementer, presiden hanya menjadi simbol kepala negara saja. Ada hal yang selalu terlupakan, baik dalam presidensial maupun parlementer, yaitu tentang partisipasi, karena memang dalam sistem demokrasi kekuasaan berada ditangan rakyat. Sistem demokrasi AS, tingkat partisipasi politik rakyatnya dalam pemilu hanya berkisar 50% dari total penduduk yang memiliki hak pilih, kecuali pemilu terakhir ini karena ada situasi khusus. Berbeda pula dengan Kuba, sebuah negara sosialis yang menganut demokrasi lansung, keterlibatan rakyat dalam setiap pemilu selalu berada diatas 95%. Tingginya partisipasi politik rakyat dalam pemilu disebabkan oleh partisipasi politik dan keterlibatan lansung rakyat dalam memilih wakil-wakilnya, mengontrol, mengganti), memberikan masukan, dan terlibat dalam memutuskan kebijakan.
Cile, ”negeri kurus” di benua Amerika latin itu disebut-sebut sebagai satu-satunya negara di dunia yang berhasil mencapai kestabilan demokrasi dengan mengusung sistem presidensil dan multipartai sekaligus. Setidaknya, itulah kajian seorang profesor Universitas Notre Dame, Indiana,Amerika Serikat (AS), Scott Mainwaring. Dalam kajiannya,Mainwaring menyatakan bahwa perpaduan sistem presidensil, multipartai, dan demokrasi adalah kolaborasi yang sulit. ”Sistem presidensil,dengan demokrasi multipartai adalah lebih sulit dari yang kita bayangkan ketimbang demokrasi hanya dua partai,” kata Mainwaring dalam papernya, Presdientialism, Multiparty Systems, and Democracy: The Difficult Equation. Multipartai yang dianut Cile sejatinya tidak berjalan mulus.
Terbukti pada penyelenggaraan pemilu 1961–1973, sistem multipartai Cile dianggap gagal. Hasilnya, melahirkan kediktatoran Augusto Pinochet yang berkuasa sejak 1973 hingga 1990. Setelah Pinochet turun tahta, pemilu demokratis pada 11 Desember 2005 digelar. Ini merupakan pemilu nasional keempat sejak pemulihan demokrasi pada 1990. Koalisi Concertacion muncul dari oposisi yang selama ini menentang kediktatoran Pinochet.
Era reformasi
Ketika reformasi bergulir pada 1998, multipartai kembali menyeruak. Pengamat Politik Universitas Paramadina Bima Arya menyatakan lebih mendukung diberlakukannya sistem presidensil dengan multipartai sederhana, sebab lebih dibutuhkan negeri ini. Perjalanan sistem ultramultipartai sudah menunjukkan penyelenggaraan pemerintahan menjadi terkesan lambat dan tidak efektif.
Tetapi, sejumlah pakar lain justru beranggapan sebaliknya. Sistem presidensil dan multipartai cocok untuk digabungkan. Maka, dalam pelaksanaannya tidak akan menemui masalah. Jika harus dilakukan lobilobi politik dalam implementasi kebijakan, itu lebih sebagai bentuk demokrasi.
Sebab, setiap kebijakan pemerintah haruslah dikomunikasikan dengan partai yang secara hakikat memang representasi dari suara rakyat. Setidaknya,perlu ada jalan tengah untuk mengatasi hal ini. Artinya, perlu satu sistem yang layak untuk menyeimbangkan peranan eksekutif dan legislatif.Sebab,peran eksekutif yang terlalu dominan rawan munculnya pemerintahan otoriter dan diktator.
Sebaliknya, peran legislatif yang berlebihan rawan konflik dan membuat jalannya pemerintahan tidak stabil. Ada juga asumsi yang menyebutkan munculnya banyak partai menunjukkan antusiasme partisipasi politik masyarakat. Di samping itu, rakyat sudah jenuh dengan eksistensi partai-partai yang ada sehingga perlu saluran aspirasi yang baru.Tapi, tidak bisa dinafikan bahwa kehadiran partai politik lebih bertujuan meraih kursi kekuasaan. Hal ini dibuktikan dengan hasil jajak pendapat Lembaga Survei Indonesia (2008) yang menyebutkan bahwa kepercayaan publik terhadap partai politik semakin rendah. Parpol dinilai hanya berpikir pragmatis, ingin menunjukkan sentralisme kekuasaan.Dampaknya, demokrasi hanya diukur secara seremoni lewat pemilu. Untuk itu, reformasi konstitusi atau institusi partai politik bisa dipertimbangkan, baik melalui pergeseran dari sistem presidensil menjadi semi presidensil ataupun bahkan sistem parlementer, termasuk mengurangi jumlah partai politik. Untuk mewujudkannya bukanlah pekerjaan mudah. Dipastikan terjadi benturan kepentingan.
Selain itu,fenomena makin tingginya angka golongan putih (golput) menunjukkan bahwa sudah saatnya parpol introspeksi diri.Artinya, kendaraan politik itu tidak lagi hanya berpikir tentang bagaimana meraih kekuasaan belaka, tetapi lebih dari itu, menjalankan misi untuk memberikan pendidikan politik bagi rakyat. Hal inilah yang masih jauh panggang dari api. Dalam sebuah acara Acara Today's rangkaian kerjasama Metro TV dan ITB Bandung, Dialog yang terjadi diantara narasumber menggambarkan bahwa sistem presidensial di Indonesia memang belum murni. Sistem multipartai membuat dukungan di DPR menyebar sehingga harus membentuk koalisi Fadel Muhammad yang menjabat sebagai Gubernur Gorontalo sejak 2006, menyatakan bahwa konstitusi yang mengatur sistem dapat diubah. Fadel menekankan pula Indonesia memang menganut sistem semi-presidensial. Kabinet harus terdiri dari orang-orang yang memiliki track record di bidangnya dari tiap partai. Jika tidak ada yang memenuhi dari salah satu partai, dapat diambil perwakilan dari partai lain yang sesuai persyaratan.
Terjadi pergeseran
Walaupun hasil amandemen konstitusi UUD 1945 memperkuat sistem presidensial, tetapi dalam implementasinya terjadi pergeseran hingga sedikit menyentuh praktik sistem parlementer.
Demikian salah satu pemikiran yang muncul dalam diskusi "Quo Vadis Sistem Politik Indonesia: Antara Presidensial dan Parlementarisme" di Media Lounge DPP Golkar di Slipi Jakarta Barat beberapa waktu lalu. Agung Laksono menegaskan, sistem pemerintahan yang diterapkan Indonesia sudah sesuai konstitusi, yaitu presidensial. Namun, implementasinya dengan "catatan" dimana untuk keputusan tertentu pemerintah mengikutkan DPR. Syamsul Muarif mengemukakan, implementasi sistem presidensial diwarnai dengan intervensi DPR. Menurut Syamsul, adanya pergeseran implementasi sistem presidensial itu terkait dengan fragmentasi politik yang multipartai. Padahal sistem presidensial sebenarnya tidak tepat diterapkan di negara yang multipartai. Hal itu menyebabkan adanya kompromi-kompromi politik agar pemerintahan bisa bekerja. tanpa melakukan kompromi dengan partai-partai politik, sulit bagi pemerintah untuk melakukan programnya. Sementara Denny Indrayana, staf khusus presiden di bidang hukum tak sependapat bila adanya pergeseran implementasi sistem presidensial karena "kekacauan" hasil amandemen. Pergeseran itu sebaiknya dikoreksi. Sistem tidak perlu diubah. Lebih lanjut menurut Denny, koalisi yang terjadi haruslah efektif; ada kerjasama antara presiden, partai politik, dan parlemen. Rakyat seharusnya memilih partai yang mendukung presiden yang akan ia pilih nanti, agar tidak terjadi pertentangan. Koalisi yang ada mungkin dapat berubah menjadi oposisi, tapi tidak tertutup kemungkinan terbentuknya koalisi yang permanen. "Benahi kekurangan, maksimalkan kelebihan, pertahankan sistem," ujar Denny. Tiga kunci efektifitas pemerintahan menurut beliau adalah integritas, kapasitas, dan akseptabilitas. Sistem haruslah benar dan para pemilih harus cerdas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar